Jumat, 01 Mei 2009

AL-AKHLAK AL-KARIMAH

Rasulallah shallallah ‘alaihi wasallam, merupakan contoh puncak dari sosok seorang yang mulia. Hal ini sebagaimana tercermin dari sikapnya yang merupakan contoh yang ideal dan paling sempurna.
Sosok Rasulalah sebagai manusia yang ideal dan paling sempurna jelas tergambar dalam al-quran


AL-AKHLAK AL-KARIMAH
DALAM PERSPEKTIF SUNNAH RASUL*
Oleh : A.R. IDHAMKHOLID, M.Ag.@

A. PENDAHULUAN
Rasulallah shallallah ‘alaihi wasallam, merupakan contoh puncak dari sosok seorang yang mulia. Hal ini sebagaimana tercermin dari sikapnya yang merupakan contoh yang ideal dan paling sempurna.
Sosok Rasulalah sebagai manusia yang ideal dan paling sempurna jelas tergambar dalam al-quran
Kehadiran beliau sebagai seorang yang mengemban tugas untuk menyempurnakan akhlak. Karena itu, adalah pada tempatnya apabila perbaikan akhlak merupakan salah satu sasaran utama Islam
Dalam kacamata Islam, akhlak merupakan implikasi akidah yang akan berjalan secara seimbang. Dalam arti, bahwa apabila akidah seseorang telah benar, semestinya tercermin dalam perilakunya yang baik dan terpuji. Sebaliknya, jika pertumbuhan akidah kurang sehat, maka tampilan perilaku dan kehidupan juga kurang menggembirakan. Akan tetapi, sebaliknya, tidak secara otomatis. Dalam arti bahwa tidak semua orang yang berperilaku baik, dalam waktu yang sama mempunyai gambaran (tasawwur) tentang akidah yang baik dan benar. Begitu banyak kita saksikan orang-orang di luar Islam, secara kemanusiaan, tergolong “baik”, karena pandai bergaul, penampilannya simpatik, hubungan sosialnya menyenangkan, namun tidak dapat diklaim sebagai orang yang berakhlak al-karimah, karena persoalan akhlak berkaitan langsung dengan dimensi akidah.
Selain itu, konotasi akhlak dalam Islam tidak hanya sebatas dimensi horizontal (kemanusiaan), tetapi mencakup akhlak kepada Allah swt, (dimensi vertical). Dua cakupan ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Kekeliruan banyak orang ketika membatasi pengertian akhlak hanya pada dataran horizontal dan langsung menjadikannya sebagai parameter untuk mengukur “baik” atau “tidak baik”.
Dalam Islam tolok ukur yang dipakai adalah “benar “ atau “tdak benar”. Sesuatu yang “tidak benar”, betapapun performance-nya simpatik, rasa sosialnya menakjubkan, ia dengan serta merta akan jatuh tanpa nilai. Dan yang dinilai “benar”, maka “eksterior”nya pun tampil dengan baik dan simpatik
Eksistensi akhlak dalam kehidupan manusia menempati posisi yang sangat penting, baik sebagai individu, sebagai masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera rusaknya suatu bangsa, masyarakat dan bangsa tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak), akan sejahteralah lahir batinnya, tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah lahir batinnya.

B. PENGERTIAN AKHLAK
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitive dari kata akhlaqa, yukhliku, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).




Baca Selengkapnya......

Minggu, 19 April 2009

MU’TAZILAH DAN PEMIKIRANNYA

MU’TAZILAH DAN PEMIKIRANNYA

A. Asal-usul Nama Mu’tazilah dan Latar Belakang Timbulnya

Latar belakang dan asal-usul nama Mu’tazilah adalah dari peristiwa yang terjadi pada Majlis Pengajian di Masjid Basroh, yang dipimpin oleh Hasan al-Basri. Dalam Majlis tersebut timbul pertanyaan yang dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Atha dan temannya bernama ‘Amr Ibn Ubaid, yaitu


MU’TAZILAH DAN PEMIKIRANNYA

A. Asal-usul Nama Mu’tazilah dan Latar Belakang Timbulnya

Latar belakang dan asal-usul nama Mu’tazilah adalah dari peristiwa yang terjadi pada Majlis Pengajian di Masjid Basroh, yang dipimpin oleh Hasan al-Basri. Dalam Majlis tersebut timbul pertanyaan yang dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Atha dan temannya bernama ‘Amr Ibn Ubaid, yaitu

MU’TAZILAH DAN PEMIKIRANNYA

A. Asal-usul Nama Mu’tazilah dan Latar Belakang Timbulnya

Latar belakang dan asal-usul nama Mu’tazilah adalah dari peristiwa yang terjadi pada Majlis Pengajian di Masjid Basroh, yang dipimpin oleh Hasan al-Basri. Dalam Majlis tersebut timbul pertanyaan yang dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Atha dan temannya bernama ‘Amr Ibn Ubaid, yaitu tentang orang yang berdosa besar yang mati belum bertobat, apakah ia masih tetap mukmin sebagai mana pendapat golongan Murjiah, ataukah ia sudah menjadi kafir dalam arti keluar dari Islam (murtad) sebagai mana pendapat golongan Khawarij.

MU’TAZILAH DAN PEMIKIRANNYA

A. Asal-usul Nama Mu’tazilah dan Latar Belakang Timbulnya

Latar belakang dan asal-usul nama Mu’tazilah adalah dari peristiwa yang terjadi pada Majlis Pengajian di Masjid Basroh, yang dipimpin oleh Hasan al-Basri. Dalam Majlis tersebut timbul pertanyaan yang dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Atha dan temannya bernama ‘Amr Ibn Ubaid, yaitu tentang orang yang berdosa besar yang mati belum bertobat, apakah ia masih tetap mukmin sebagai mana pendapat golongan Murjiah, ataukah ia sudah menjadi kafir dalam arti keluar dari Islam (murtad) sebagai mana pendapat golongan Khawarij. Sebelum Hasan Al-Basri menjawab, Wasil mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertobat, maka ia tidak mukmin lagi, tetapi pula kafir, melainkan fasiq, berada pada posisi diantara posisi (almanzilah baina al-manzilah). Kemudian ia menjauhkan diri dari majlis Hasan Al-Basri, pergi ket tempat lain di Masjid.

Atas peristiwa itu Hasan Al-Bisri mengatakan : “Wasil telah menjaukan diri dari kita (‘itazal’anna). Sikap Wasil ini diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr Ibn Ubaid. Maka keduanya dan pengikut-pentikutnya disebut “Mu’tazilah”, karena merkea menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang orang yang berbuat dosa besar.

Imron Abdullah (2004 : 23) berpendapat bahwa Mu’tazilah lahir pada abad pertama sesudah hijrah. Pusatnya di sekitar Basra dan Baghdad, mengalami masa kejayaan tahun 750-850 M. Karena pengaruh Yunani aliran ini memberikan kedudukan tinggi pada akal, melibihi wahyu.

B. Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah

Ajaran-ajaran dasar golonga Mu’tazilah berasal dair Ibn Atha, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau lmi ajaran dasar yaitu :

1. Al-Tauhid

2. Al-‘adl

3. Al-wa’d wa al-wa’id

4. Al-manzilah bain al-manzilatain

5. Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar

1. At-Tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan)

Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid.

At-tahuid berarti ku ke Maha Esaan Tuhan. Menurut faham mereka Tuhan akan benar-benar Maha Esa, apabila Tuhan merupakan zat unik, tiada yang serupa dengan Dia, serupa dalam segala hal, dalam sifat-Nya, perubatan-Nya, ciptaan-Nya dan sebagainya. Oleh karena itu mereka menolak faham antropomorphisme, yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya. Tuhan tiada merupakan jisim atua syakhs, Tuhan adalah zat yang qadim. Tiada sesuatu yagn boleh qadim, selain Tuhan. Sejalan dengan ajaran ini, Mu’tazilah berpendapat dengan nafy sifat atau peniadaan sifat Tuhan, dalma arti Tuhan mengetahui bukan dengan sifat, tetapi dengan zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan zat-Nya, berkehendak dengan zat-Nya. Dengan kata lain Mu’tazilah meniadakan sifat Tuhan dalam arti sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Tiada berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi mereka tetap maha Mengetahui, maha mendengar, maha hidup, maha kuasa dan sebagainya, tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan itu merupakan esensi Tuhan.

2. Al-Adl (Keadilan Tuhan)

Kalau dengan al-tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan ddari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan perubatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuha yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid wa al-‘adl. Dan dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yagn mengatakan bahwa manusia dalam semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak dari ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban seperti memberikan rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk membantu manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Hal ini tidak bisa diterima oleh golongan Ahl al-sunnah wa al-jama’ah.

3. Al-wa’d wa al-wa’id (Janji dan Ancaman)

Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah yakni bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala baig orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebikan atau pahala, sebaliknya orang yang berbuat buruk akan dibalas dengan keburukan atau siksa. Tiada ampunan bagi orang berbuat dosa besar tanpa ia bertobat, tiada sebagaimana faham murjiah yang mengatakan bahwa dapat saja orang berbuat dos abesar tanpa berbuat Tuhan akan mengampuni, jika Tuhan menghendaki.

Yang erat hubungannya dnegan ajaran dasar ini ialah ajarannya tentang al-shalah wa al-ashlah, yaitu berbuat baik dan terbaik bagi manusia, kemudian al-luthf, pengiriman rasul kepada umat manusia dan al-qur’an bersifat qadim.

4. Al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)

Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah. Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi faqis, suatu posisi diantara dua posisi. Golongan Khawarij berpendapat bahaw orang tersebut menjadi kafir dan akan kekal di neraka. Golongan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, tidak kekal di negera dan mengharapkan rahmat dan ampunan dari Allah. Dan golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tida mukmin dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan pendapat Murjiah.

5. Al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahi ‘an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan berbuat jahat).

Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja, tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan penjelasan saja.

C. Tokoh-tokoh Mu’tazilah

Perlu diketahui, aliran Mu’tazilah berpusat di Basrah, dan cabangnya di Baghdad. Tokoh-tokoh Mu’tazilah banyak sekali, tetapi akan dikemukakan beberapa orang saja, antara lain :

1. Wasil Ibn ‘Atha (80 – 131 H)

Wasil adalah pemuka dan pembina aliran Mu’tazilah sebagai telah disebutkan di atas, ia adalah pendiri dan eletak dasar ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan dalam lima prinsip ajaran dasar (ushul al-khamsah). Pendapat-pendapatnya kemudian dimatangkan oleh tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka datang kemudian seperti Abu al-Hudzail, Al-Nazhzham, Al-Jubbai dan sebagainya.

2. Abu al-Hudzail al-‘Allaf (135 – 226 H)

Abu al-Hudzail termasuk tokoh Mu’tazilah di Basrah. Ia banyak mempelajari buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh oleh buku-buku tersebut, dan karena dia maka Mu’tazilah mengalami perkembangan yang pesat.

Di antara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut :

a. Tentang ‘ardl. Dinamakan ‘ardl bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak ‘ardl yang terdapat pada bukan benda seperti waktu, abadi, hancur. Ada ‘ardi yang abadi dan ada yang tidak abadi.

b. Menetapkan adanya atom (bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi).

c. Gerak dan diam. Benda yang banyak bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut Mutakalimin hanya bagian itu sendiri yang begerak.

d. Qadar. Manusia dapat mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunia, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat tidak berkuasa lagi.

e. Tuhan, tanpa wahyu dapat diketahui. Ia dapat diketahui dengan perantaraan kekuatan akal.

3. Ibrahim ib Sayyar al-Nazhzham (wafat 231 H)

Ia adalah murid Abu al-Nadzail al-‘Allaf, orang terkemuka lancar beribicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya. Pada masa kecilnya ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari Ilsam. Setelah dewasa ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof pada masanya. Banyak pendapat-pendapatnya yang berbeda dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya. Di antara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut :

a. Tentang benda (jisiim). Selain gerak, semua yanga da disebut jisim, termasuk warna, bau dan sebagainya.

b. Tidak mengakui adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi lagi (atom). Menurutnya sesuatu bagian bagaimanapun kecilnya dapat dibagi-bagi (Boleh jadi benar bisa terjadi dalam fikiran).

c. Tidak ada diam. Pada hakikatnya semua yang ada itu bergerak. Mungkin hal ini karena pengaruh filsafat Heraklitos.

d. Hakikat manusia adalah jiwanya, bukan badannya seperti pendapat abu al-Hudzail. Menurutnya badan hanyalah merupakan alat saja, dan ia mengatakan bahwa badan itu adalah penjara bagi jiwa, kalau jiwa lepas dari badan ia akan kembali ke alamnya.

e. Berkumpulnya suatu kontradiksi dengan suatu tempat itu menunjukkan adanya Tuhan

f. Teori Sembunyi (kumun)

g. Semua makhluk dijadikan oleh Tuhan sekaligus dalam waktu yagn sama. Karena itu sebenarnya Nabi Adam itu tidak lebih dulu dari anak-anak, demikian pula ibu tidak lebih dulu dari anaknya. Lebih dulu atua kemudian hanyalah dalam lahirnya ke dunia, bukan dalam asal kejadiannya.

h. Kemu’jizatan al-Qur’an. Terletak dalam peberitaan hal-hal yang gaib

i. Seperti Abu Al-Hudzail ia juga berpendapat, tanpa wahyu Tuhan dapat diketahui, yaitu dengan kekuatan akal manusia.

4. Al-Jahizh ‘Amr Ibn Bashr (Wafat 256 H)

Ia dikenal tajam penanya, banyak karangannya dan gemar membaca buku-buku filsafat terutama filsafat alam.

5. Al-Jubbai Abu Ali Muhammad Ibn Abd. Al-Wahhab (wafat tahun 295 H)

Al-Jubbai adalah salah seorang pemimpin Mu’tazilah yang sama kemsyhurannya dengan wasil, Abu Al-Hudzail dan al-Nazhzham. Pendapat-pendapat Al-Jubbai antara lain adalah :

a. Tuhan tidak dpat disifati dengan kamil, karena yang disifati dengan kamil hanya yang terdiri dari bagian-bagian, sedang Tuhan tidak terdiri dari bagian-bagian.

b. Tuhan tak dapat disifati dengan syaja’ah (berani), karena berani berarti berani kepada hal-hal yang disenangi dan hal-hal yang ditakuti.

c. Yang disebut kalam atau sabda Tuhan adalah yang tersusun dari suara dan huruf, maka ia diciptakan, baru dan tidak qadim.

d. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di hari kiamat, karena Tuhan itu immateri tidak dapat dilihat oleh yang materi, maka Tuhan hanya dapat dilihat dengan mata hati.

e. Daya untuk berbuat sesuatu itu telah ada di dalam diri manusia sebelum perbuatan itu dilakukan, dan daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh manusia.

Tokoh-tokoh Mu’tazilah cabang Baghdad antara lain :

1. Mu’amar ibn Abbad al-Sulmay (Wafat 220 H).

Ia adalah pembina Mu’tazilah cabang Baghdad. Ia banyak terpenagruh oleh filosof-filosof, terutama tentang sofat-sifat Tuhan.

2. Bisyr ibn Mu’tamir (wafat 226 H)

Diantara pendapatnya ialah siapa orang yang bertobat dari dosa besar, kemudian ia mengulangi lagi, maka ia akan menerima siksa berlipat ganda.

3. Abu Musa al-Murdar (wafat 226 H)

Menurut Syahrastani ia sangat kuat mempertaruhkan pendapat bahwa al-Qur’an itu tidak qadim, dan Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di hari kiyamat.

4. Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H)

Ia juga berpendapat bahwa daya berbuat bagi manusia sudah ada dalam tubuh manusia sendiri. Dan dengan melalui akalnya manusia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui perbuatan baik dan buruk sebelum wahyu turun.

D. Pemikiran Mu’tazilah tentang Akal dan Wahyu

Dalam teologi Islam masalah pokok yang dibahas adalah masalah ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Akal yanga da pada manusia dan wahyu dari Tuhan merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut. Akal, dengan daya yang ada pada manusia berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan dengan rahmat dan kasih sayang Tuhan, wahyu diturunkan melalui para Rasul untuk menolong manusia dari kelemahan dan kekurangannya. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagi Tuhan Maha Tinggi di puncak alam wujud, dan manusia yang lemah berada di bawah.

Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran teologi yang berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Tetapi yang menjadi persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia etrhadap Tuhan. Dan sampai seberapa jauh persoalan wahyu dalam kedua tersebut di atas.

Sou’yb, Joesoef ( 1997: 52 ) berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu bertitik-tolak pada kemestian memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Mu’tazilah memahamkannya itu merupakan kekuatan yang tertahankan.

Persoalan-persoalan yang dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Masalah mengetahui Tuhan;

b. Masalah kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;

c. Masalah mengetahui baik dan jahat;

d. Masalah kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.

Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi secara garis besar akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya bersifat menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap pengetahuan yang telah dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya. Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.

Sehubungan dengan besar kecilnya peranan akal dalam masalah mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk seperti tersebut di atas, bahkan menurut Mu’tazilah keempat masalah tersebut dapat dicapai dengan akal, maka timbullah pertanyaan apakah fungsi wahyu?

Sudah barang tentu bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai peranan yang sangat besar, fungsi wahyu sangat kecil, sebaliknya aliran yang berpendapat peranan akal sangat kecil, fungsi wahyu menjadi sangat besar.

Bagi kaum Mu’tazilah semua pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. (Nasution, Harun. 1986: 76)

Menurut Mu’tazilah, karena keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai dengan akal, maka fungsi wahyu menjadi sangat kecil. Untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu dalam pendapat Mu’tazilah tidak mempunyai fungsi apa-apa; tetapi untuk mengetahui bagaiman cara melaksanakan ibadah kepada Tuhan dalam hal ini wahyu diperlukan, karena akal tidak sanggup mengetahui bagaimana cara ibadah tersebut.

M. Afif ( 2004: 107) berpendapat bahwa sikap Mu’tazilah yang memberi porsi sangat besar kepada akal dalam memahami agama terlihat dari pandangannya yang mengatakan bahwa akal dapat mengetahui yang baik dan buruk, serta dapat pula mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Menurut Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja, adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan.

Demikian pula menurut Mu’tazilah manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang baik dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu.

Dapat disimpilkan bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah adalah sebagai berikut :

1. Menyempurnakan pengetahuan manusia tentang baik dan buruk sehingga ada wajib al-aqliyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui melalui akal, dan ada wajib al-syarfiyyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang hanya diketahui melalui wahyu. Demikian pula ada manakir al-aqliyah, yaitu larangan-larangan yang dapat diketahui melalui akal, dan ada pula manakir al-syar’iyyah, yaitu larangan-larangan yang hanya diketahui melalui wahyu.

2. Memberi penjelasan tentang perincian hukaman dan upah yang akan diterima di akhirat nanti.

Kedua fungsi tersebut di atas dapat dikatakan sebagai informasi, yaitu memberikan hal-hal yang belum diketahui akal. Dan sebagai konfirmasi, yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal.

3. Mengingatkan manusia dari kelengan dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.

Baca Selengkapnya......